Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Makalah Fikih Muamalah Tentang Al- Ijarah

PENDAHULUAN
Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam lapangan muamalah adalah Ijarah. Ijarah sering disebut dengan “upah” atau “imbalan”. Kalau sekiranya kitab-kitab fiqh sering mmenerjemahkan kata Ijarah dengan “sewa-menyewa”, maka hal tersebut janganlah diartikan menyewa sesuatu barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi harus dipahami dalam arti yang luas.
Manusia merupakan makhluk social yang tak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Dalam hidupnya, manusia bersosialisi dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang termasuk di dalamnya merupakan kegiatan ekonomi. Segala bentuk interaksi social guna memenuhi kebutuhan hidup manusia memerlukan ketentuan-ketentuan yang membatasi dan mengatur kegiatan tersebut.
Selain dipandang dari sudut ekonomi, sebagai umat muslim, kita juga perlu memandang kegiatan ekonomi dari sudut pandang islam. Ketentuan-ketentuan yang harus ada dalam kegiatan ekonomi sebaiknya juga harus didasarkan pada ssumber-sumber hokum islam, yaitu Al’Qur’an dan Al-Hadits.
Konsep Islam mengenai muamalah amatlah baik. Karena menguntungkan semua pihak yang ada di dalamnya. Namun jika moral manusia tidak baik maka pasti ada pihak yang dirugikan. Akhlakul Karimah secara menyeluruh harus menjadi rambu-rambu kita dalam ber-muamalah dan harus dipatuhi sepenuhnya.
Dan di sini kami membahas lebih lengkap dan jelas mengenai salah satu dari bentuk interaksi sosial manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya (kegiatan ekonomi), yaitu Ijarah
    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Apa Pengertian Ijarah?
B.     Bagaimana Dasar Hukum Ijarah?
C.     Bagaimana Rukun dan Syarat-syarat Ijarah?
D.    Bagaimana Upah dalam Pekerjaan Ibadah?
E.     Bagaimana Menyewakan Barang Sewaan?
F.      Bagaimana Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah?
G.    Bagaimana pengembalian Barang Sewaan?
 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijarah
Menurut etimologi, ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfa’at).[1] Al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-‘iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah. Sewa-menyewa atau dalam bahasa arab ijarah berasal dari kata اجر yang sinonimnya:
1.      اكوىyang artinya menyewakan, seperti dalam kalimat اجرالشئ (menyewakan sesuatu)
2.      اعطا ه اجراyang artinya ia member upah, seperti dalam kalimat اجرفلاناعلى كذا(ia memerikan kepada si fulan upah sekian)
3.      اثابهyang artinya memberinya pahala, seperti dalam kalimatاجرالله عبده(Allah memberikan pahala kepada hamba-Nya)[2]
Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda mendefinisikan ijarah, antara lain adalah sebagai berikut:
a. Ulama Hanafiyah
عَقْدٌ عَلَى المُنَافِعِ بِعَوْضٍ
Artinya: “Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b. Ulama Asyafi’iyah
عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ مَقْصُودةٍ مَعْلُومَةٍ مُبَاحَةٍ قَابِلَةٍ لِلبَدْلِ وَالإِبَاحَةِ  بِعَوْضٍ مَعْلُوْمٍ
Artinya: “Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c. Ulama Malikiyah dan Hanabilah
تَمْلِيْكُ مَنَافِعِ شَيءٍ مُبَاحَةٍ مُدَّةً مَعْلُوْمَةً بِعَوْضٍ
Artinya: “Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”[3]
d. Menurut syaikh Syihab Al-Din dan Syaikh Umairah bahwa yang dimaksud dengan
ijaroh ialah:
“Akad atas manfa’at yang diketahui dan disengaja untuk member dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu”.
e. Menurut Muhammad Al-Syarbini Al-Khatib bahwa yang dimaksud dengan ijaroh
adalah:
“Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat.”
f. Menurut Sayyid Sabiq bahwa Ijaroh ialah suatu jenis akad untuk mengambil
manfaat dengan jalan penggantian.
g. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie bahwa ijarah adalah:
“Akad yang objeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu  pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.”
Berdasarkan definisi-definisi di atas, kiranya dapat dipahami bahwa ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti sewa-menyewa dan upah-mengupah, sewa menyewa adalah:
بيع المنافع
“Menjual manfaat”
Dan upah mengupah adalah
بيع القوة
“Menjual tenaga atau kekuatan.”[4]
Ada beberapa istilah dan sebutan yang berkaitan dengan ijarah, yaitu mu’jir, musta’jir, ma’jur dan ajru atau ijarah.ma’jir ialah pemilik benda yang menerima uang (sewa) atas suatu manfaat. Musta’jir ialah orang yang memberikan uang atau pihak yang menyewa. Ma’jur ialah pekerjaan yang diakadkan manfaatnya. Sedangkan ajr atau ujrah ialah uang (sewa) yang diterima sebagai imbalan atas manfaat yang diberikan.[5]
B.     Dasar Hukum ijarah
Dasar-dasar hukum atau rujukan iajarah adalah al-qur’an, al-sunnah dan al-ijma’
Dasar hukum ijarah dalam alqur’an adalah
فان ا رضعن لكم فا تو هن اجورهن (الطلاق)
Artinya: “Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berikanlah upah mereka” (Al-Thalaq: 6).
Dasar hukum ijarah dari al-hadits adalah
اعطو االاجيرا جره قبل ا ن يجف عر قه
“Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum krtingatnya kering.” (Riwayat Ibnu Majah)
Landasan Ijma’nya ialah semua umat sepakat, tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap.[6]
C.     Rukun dan Syarat-syarat Ijarah
Menurut Hanafiyah rukun ijarah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua belah pihak yang bertransaksi. Adapun menurut jumhur ulama iajarah ada empat yaitu:
1.      Dua orang yang berakad
2.      Sighat (ijab dan qabul)
3.      Sewa atau imbalan
4.      Manfaat
Adapun syarat-syarat ijarah sebagimana yang ditulis Nasrun Haroen sebagai berikut:
1.      Yang terkait dengan dua orang yang berakad. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabalah disyaratkan ytelah balig dan berakal.
2.      Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya melakukan akad al-ijarah
3.      Manfaat yang menjadi objek ijarah harus dikatahui, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari
4.      Objek ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya
5.      Objek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’
6.      Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa
7.      Objek ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan
8.      Upah atau sewa dalam ijarah harus jelas
D.    Upah dalam Pekerjaan Ibadah
Para ulama berbeda sudut pandang dalam hal upah atau imbalan terhadap pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya ibadah atau perwujudan ketaatan kepada Allah. Madzhab hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan ibadah atau ketaatan kepada Allah seperti menyewa orang lain untuk sholat, puasa, haji atau membaca alqur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu seperti kepada arwah orang tua yang menyewa, menjadi muadzin, menjadi imam, dan lain-lain yang sejenis haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
اقرؤالقران ولاتاؤكلوابه
“bacalah olehmu alqur’an dan janganlah kamu cari makan dengan jalan itu”.
Perbuatan seperti adzan, shalat, haji, puasa, membaca alqur’an dan dzikir adalah tergolong perbuatan untuk taqarrub kepada Allah, karenanya tidak boleh mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.
Menurut madzhab Hambali, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan mengajar alqur’an dan sejenisnya, jika tujuannya termasuk untuk mewujudkan kemaslahatan. Tetapi haram hukumnya mengambil upah jika tujuannya termasuk kepada taqqrrub kepada Allah.
Madzhab maliki, Syafi’I dan ibnu Hazm, membolehkan mengambil upah sebagai iambalan mengajar aklqur’an dan kegiatan-kegiatan sejenis, karena hal ini termasuk jenis imbalan dari perbuatan yang diketahui (terukur) dan dari tenaga yang diketahui pula. Ibnu Hazm mengatakan bahwa mengambil upah sebagai imbalan mengajar alqur’an dan kegiatan sejenis, baik secara bulanan atau secara sekaligus dibolehkan dengan alasan tidak ada nash yang melarangnya.
E.     Menyewakan Barang Sewaan
Menurut Sayyid sabiq, penyewa dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan tersebut pada orang lain, dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad awal. Sementara itu, menurut Hendi Suhendi bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (al-mu’jir) dengan syarat kerusakan itu bukan akibat dari kelalaian penyewa atau al-musta’jir maka yang bertanggung jawab adalah penyewa atau al-musta’jir itu sendiri.[7]
F.      Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiah berpendirian bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat udzur dari salah satu pihak yang berakad seperti salah satu pihak sudah wafat atau kehilangan kecakapan bertindak dalam hukum.
Adapun jumhur ulama dalam hal ini mengatakan bahwa akad ijaraj itu seperti mengikat kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Akibat berbeda pendapat ini dapat diamati dalam kasus apabila seorang meninggal dunia. Menurut ulama Hanafiah, apabila salah seorang meninggal dunia maka akad ijarah batal karena manfaat tidak boleh diwariskan. Akan tetapi jumhur ulama mengatakan, bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena termasuk harta (al-mal). Oleh sebab itu kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalkan akad ijarah.[8]
Selanjutnya sampai kapankah akad ijarah itu berakhir?. Menurut al-kasani dalam kitab al-Bada’iu ash-shanaa’iu, menyatakan bahwa akad ijarah berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
1.      Objek ijarah hilang atau musnah
2.      Tenggang waktu yang disepakati dala akad ijarah telah berakhir
3.      Wafatnya salah seorang yamh berakad
4.      Apabila ada udzur dari salah satu pihak
Sementara itu, menurut Sayyid sabiq, ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
1.      Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika ditangan penyewa
2.      Rusaknya barang yang disewakan
3.      Rusaknya barang yang diupahkan
4.      Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan
5.      Menurut Hanafi salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkanijarah jika ada kejadian-kejafian yang luar biasa.
G.    Pengembalian Barang Sewaan
Menurut Sayyid Sabiq jika akad ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan. Jika barang itu berbentuk barang yang dapat dipindah (barang bergerak) seperti kendaraan, binatang dan sejenisnya, ia wajib menyerahkannya langsung pada pemiliknya. Dan jika berbentuk barang yang tidak dapat berpindah (barang yang tidak dapat bergerak) seperti rumah, tanah, bangunan, ia berkewajiban menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong, seperti keadaan semula. Madzhab Hambali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan. Selanjutnya mereka juga berpendapat bahwa setelah berakhirnya masa akad ijarah dan tidak terjadi kerusakan yang tanpa disengaja, maka tidak ada kewajiban menanggung bagi penyewa.
 IV.            KESIMPULAN
Menurut etimologi, ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfa’at).[9] Al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-‘iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah. Sedangkan menurut istilah, ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti sewa-menyewa dan upah-mengupah.
Dasar-dasar hukum atau rujukan iajarah adalah al-qur’an, al-sunnah dan al-ijma’.
Menurut Hanafiyah rukun ijarah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua belah pihak yang bertransaksi. Adapun menurut jumhur ulama iajarah ada empat yaitu:
1.      Dua orang yang berakad
2.      Sighat (ijab dan qabul)
3.      Sewa atau imbalan
4.      Manfaat
Adapun syarat-syarat ijarah sebagimana yang ditulis Nasrun Haroen sebagai berikut:
1.      Yang terkait dengan dua orang yang berakad. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabalah disyaratkan ytelah balig dan berakal.
2.      Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya melakukan akad al-ijarah
3.      Manfaat yang menjadi objek ijarah harus dikatahui, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari
4.      Objek ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya
5.      Objek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’
6.      Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa
7.      Objek ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan
8.      Upah atau sewa dalam ijarah harus jelas.
Para ulama berbeda sudut pandang dalam hal upah atau imbalan terhadap
pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya ibadah atau perwujudan ketaatan kepada Allah.
Menurut Sayyid sabiq, penyewa dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan tersebut pada orang lain, dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad awal.
Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Menurut Sayyid sabiq, ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
1.      Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika ditangan penyewa
2.      Rusaknya barang yang disewakan
3.      Rusaknya barang yang diupahkan
4.      Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan
5.      Menurut Hanafi salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkanijarah jika ada kejadian-kejafian yang luar biasa.
Menurut Sayyid Sabiq jika akad ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan.
    V.            PENUTUP
Syukur  Alhamdulillah demikian makalah yang dapat kami susun. Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
GHAZALY ABDUL RAHMAN dkk. FIQH MUAMALAT Jakarta:KENCANA.2012
Huda,Qomarul.Fiqh muamalah.Yogyakarta:teras.2011
Suhendi, Hendi . FIQH MUAMALAH. Jakarta:PT RAJA GRAFINDO PERSADA.2002
Syafei, Rachmat. FIQIH Muamalah. Bandung:CV PUSTAKA SETIA. 2001
Wardi Muslich, Ahmad. Fiqh Muamalat.Jakarta:Amzah.2010



[1] Prof. DR.H. Rachmat Syafei,MA. FIQIH Muamalah. (Bandung:CV PUSTAKA SETIA. 2001) hlm.121
[2] Drs. H.Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalat (Jakarta:Amzah.2010)hlm.315
[3] Prof. DR.H. Rachmat Syafei,MA. FIQIH Muamalah. hlm.122
[4] Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. FIQH MUAMALAH. (Jakarta:PT RAJA GRAFINDO PERSADA.2002) hlm.114-115
[5] Qomarul Huda.Fiqh muamalah(Yogyakarta:teras.2011) hlm.77
[6] Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. FIQH MUAMALAH. hlm.116-117
[7] PROF.DR.H.ABDUL RAHMAN GHAZALY,M.A dkk. FIQH MUAMALAT (Jakarta:KENCANA.2012) hlm.278-282
[8] PROF.DR.H.ABDUL RAHMAN GHAZALY,M.A dkk. FIQH MUAMALAT hlm.283
[9] Prof. DR.H. Rachmat Syafei,MA. FIQIH Muamalah. hlm.121

Post a Comment for "Makalah Fikih Muamalah Tentang Al- Ijarah "